Masjid Jamik Taluak adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang terletak di Nagari Taluak IV Suku, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Letak masjid ini dekat dengan perbatasan Kota Bukittinggi, sehingga juga dikenal sebagai Masjid Jamik Taluak Bukittinggi.
Pembangunan masjid ini diprakarsai oleh Haji Abdul Majid pada tahun 1860, yang pada mulanya hanya terbuat dari kayu beratapkan ijuk. Masjid ini sempat mengalami beberapa kerusakan cukup berarti akibat gempa, seperti pada tahun 2007 yang mengakibatkan masjid ini rusak parah. Meski telah beberapa kali dilakukan perbaikan, keaslian masjid ini masih tetap dipertahankan.
Arsitektur yang dimiliki masjid ini secara keseluruhan dipengaruhi oleh corak Minangkabau. Pengaruh Arab datang kemudian dengan dibangunnya minaret lalu disusul pembuatan fasad. Dengan arsitektur yang dimilikinya, masjid ini juga menjadi salah satu masjid yang paling banyak difoto selama masa Pemerintahan Hindia Belanda, yang kini dikoleksi oleh Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda.
Saat ini selain digunakan untuk aktivitas ibadah umat Islam, masjid satu lantai ini juga digunakan sebagai sarana pendidikan agama bagi masyarakat, bahkan telah menjadi salah satu daya tarik wisata terkenal baik di Kabupaten Agam maupun di Kota Bukittinggi.
Masjid Jamik Taluak Bukittinggi saat ini berada dalam pengelolaan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau.
Arsitektur
Bangunan utama masjid ini, yang merupakan ruang salat, berbentuk persegi berukuran 13 × 13 meter. Di arah tenggaranya, terdapat serambi yang berfungsi sebagai tempat peralihan dari luar ke bagian dalam dengan panjang 13 meter dan lebar 3 meter. Serambi tersebut bukan merupakan teras depan, sebab memiliki dinding dan beberapa jendela. Tangga masuk menuju serambi tidak terdapat di bagian tengah fasad, melainkan di ujung kiri dan kanan yang masing-masing memiliki atap sendiri. Seluruh atap, termasuk atap ruang salat kecuali atap minaret, berbentuk piramida berundak-undak, yang umum dimiliki masjid-masjid tua di Nusantara. Hanya bedanya, dibuat dengan kemiringan yang jauh lebih tajam dan permukaan yang cekung; cocok untuk daerah beriklim tropis karena dapat lebih cepat mengalirkan air hujan ke bawah. Atap-atap tersebut masing-masing berdenah bujur sangkar dan terdiri dari tiga tingkat. Di antara setiap tingkatan, terdapat celah untuk pencahayaan atau ventilasi.
Minaret
Masjid ini dilengkapi dengan sebuah minaret yang berdiri terpisah dari bangunan utama, yang oleh masyarakat setempat juga dikenal dengan sebutan “manaruh”. Meski belum diketahui pasti kapan dibangunnya minaret tersebut, di Minangkabau minaret dengan bentuk yang sama tercatat telah diperkenalkan pada awal abad ke-19 oleh sejumlah reformis lslam yang dikenal sebagai Kaum Padri.
Minaret masjid ini terdiri dari tiga bagian, yang di dalamnya terdapat tangga berbentuk spiral. Dinding-dindingnya dipenuhi hiasan bercorak Arabes dan Persia. Di antara setiap bagian terdapat balkon yang mengelilinginya. Bagian pertama yang merupakan bagian terbawah dihiasi dengan hiasan bercorak Persia berupa plengkung patah mati. Bagian kedua, bentuknya semakin ke atas semakin kecil dihiasi hiasan bercorak Arabes berupa kaligrafi. Bagian ketiga atau bagian teratas, tidak berdinding dengan atap berbentuk kubah bawang, mirip dengan atap minaret masjid-masjid kuno di India.