Masjid Syuhada’ Sariak terletak di Sungai Sariak, Sungai Pua, Kabupaten Agam. Berdiri megah di tepi Tabek Sariak di kaki gunung Marapi Sumatera Barat. Masjid ini masuk dalam daftar masjid tua di Sumatera Barat. Belum diketahui kapan tepatnya pendirian masjid ini. Masyarakat dan beberapa situs website menyebutkan berdiri pada tahun 1800 Masehi.
Untuk sejarah pendirian masjid ini disebutkan berasal dari Pagaruyung di Batusangkar Tanah Datar. Mereka yang datang bertujuan memperluas wilayah dan menyebarkan ajaran agama Islam. Mereka yang dari Pagaruyung datang berombongan bersama niniak mamak Datuak Tumangguang dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Setiba di daerah sungai Sariak, mereka bertemu dengan masyarakat dan kemudian tinggal di serumpun Batang Sariak.
Batang sariak tersebut memiliki “miang” kalau kita menyentuhnya kita akan gatal-gatal. Dalam membersihkan batang sariak itu kelompok masyarakat tersebut mengalami gatal-gatal sehingga mereka pergi kesebuah kolam yang telah mereka temui sebelumnya untuk membersihkan badan yang terkena miang tersebut, yang sampai sekarang kolam itu masih ada yang di kenal dengan Tabek Sariak.
Di tepian Tabek ini, mereka akhirnya bersepakat untuk menamai daerah tersebut dengan nama ‘sariak’, yakni sekitar abad ke-15.
Kemudian, dibangunlah sebuah masjid dengan hasil gotong royong di tepi Tabek Sariak tersebut, yakni sekitar tahun 1800 (dikutip dari profil Nagari Sariak).
Dikutip dari Nagari Sariak Sungai Pua, menurut keterangan dari salah seorang Niniak mamak dari suku Sikumbang (Ono E Dt Palindih), Inyiak Pasialah yang mulai membangun masjid Sarik dengan sepersetujuan Ajo Dt Palindih. Persetujuan itu menjadi penting karena bangunan masjid didirikan diatas tanah wakaf pemberian keluarga Dt Palindih. Inyiak Pasia (yang juga dipanggil Buya Angku Pasia) dulunya adalah guru sekolah agama sebuah pesantren di Kecamatan IV Angkat Candung (Tarbiyah Pasir).
Tentang kapan persisnya masjid ini dibangun, tidak ada yang mengetahui. Tetapi ketika meletusnya gunung Krakatau di tahun 1883, masjid ini telah lama berdiri.
Informasi mengenai Masjid Sarik ini bisa kita temui di buku “Masdjid dan Makam Doenia Islam”, cetakan Balai Poestaka–Weltevreden tahun 1926 yang memuat foto serta komentar singkat sebagai berikut:
“Inilah seboeah lagi masdjid jang didirikan menoeroet matjam baroe. Masdjid Sarik ini boekan boeatannja sadja jang bagoes, tetapi letaknja djoega, disisimata air jang besar, di lereng goenoeng Merapi, berpemandangan bagoes ke kaki goenoeng Singgalang dan ke Fort de Kock. Menaranja jang tjantik itoe soedah roboh tatkala gempa boemi jang terdjadi dengan takdir Toehan di Soematera Barat”.
Pada awalnya, bangunan masjid syuhada terbuat dari kayu kemudian diganti dengan batu. Meski masjid ini berlantai dua, namun tidak menggunakan kerangka besi. Bahan perekatnya bukan pula semen, melainkan dari kapur sirih yang dicampur dengan pasir.
Seperempat abad setelah berdirinya masjid, yakni pada tahun 1926 gempa bumi vulkanik dengan kekuatan 6,5 SR, yang terkenal dengan gempa Padang Panjang, menggetarkan seluruh bangunan di sekitar Gunung Merapi. Ajaibnya, bangunan masjid tersebut tidak mengalami kerusakan, kecuali menara masjid yang mirip dengan menara masjid Kudus yang roboh sebagian. Pada sisa bangunan menara, dibangun saja kuncup atap seperti sebelumnya. Sehingga tinggi menara tidak lagi setinggi seperti yang pertama dibuat. Kubah baru tanpa menggunakan pipa besi untuk penyangganya dengan bentuk yang sewajarnya. Untuk perekat tembok masih menggunakan kapur sirih. Masjid lama berarsitektur asli dengan bentuk atap punden berundak.
Untuk diketahui, Inyiak Pasia, sang pendiri masjid Sariak telah lama tiada. Demikian pula Ajo Dt Palindih yang tongkat penghulunya digantikan oleh sepupunya, Latief (Dt Palindih). Ketika gelar Dt Palindih dipegang oleh Johan (anak Sawiyah, cucu Tuo Upik yang kini juga telah almarhum) di tahun 70-an, beliau mendirikan sebuah surau bergonjong disamping bangunan masjid yang utama.
Terlihat saat ini bangunan masjid Syuhada’ Sariak terlihat modern. Bangunan yang awalnya dengan ciri khas Sumatera Barat tidak lagi terlihat. Hal ini karena banyak bahan-bahan pada bangunan masjid yang lapuk dimakan usia dan akibat bencana alam.